
Tari Gandrong merupakan salah satu ikon Jawa Timur, dan menjadi ciri khas Banyuwangi. Awal mula tarian Gandrong ini dibawakan sebagai bentuk rasa terima kasih kepada Sri Dewi, dewi Padi. Tarian ini dilakukan setelah padi dipanen.
Tari gandrong merupakan tarian yang termasuk jenis tari tunggal karena umumnya hanya ditarikan oleh seorang saja.
Pertunjukan Tari Gandrung dilakukan dengan iringan musik khas campuran budaya Jawa dan Bali. Sekarang tari Gandrong sering dipentaskan pada acara pernikahan, petik laut, khitanan, tujuh belas tahun dan acara formal dan informal lainnya.
Gandrung awalnya ditarikan oleh pria yang berpakaian seperti wanita. Namun seiring waktu, wanita lebih sering menari.
Penari memakai hiasan seperti mahkota di kepala yang disebut ombré. Terbuat dari kulit kerbau kecokelatan dan dihiasi dengan emas dan merah. Juga dihiasi dengan gambar Antasina Ibnu Bema dengan kepala manusia raksasa dan tubuh ular.
Tarian ini juga dapat dilakukan secara berpasangan antara seorang wanita sebagai penari gandrung dan seorang pria sebagai suatu perkembangan yang dikenal sebagai paju.
Tari Gandrung terbagi menjadi beberapa tarian yaitu Jejer Gandrung, Paju Gandrung, Seblang Lukinto, Seblang Subuh, Gandrung Dor, Gandrung Marsan, Gama Gandrung dan Jaripah.
Beberapa bagian ini dibagi berdasarkan pertunjukan panggung dan musik atau yang dramatis dan mistis. Dalam pertunjukannya diiringi musik khas yaitu Gamelan Osing.
Dahulu, tari Gandrong menjadi satu kesatuan masyarakat setelah kalah perang melawan Belanda. Melalui tarian ini, orang-orang mengunjungi kerabat mereka yang tinggal terpisah setelah perang.
Masyarakat kemudian mengajak kerabatnya untuk membangun pemukiman baru yang kini dikenal dengan Kota Banyuwangi.
Kemudian seiring dengan perkembangan zaman, tarian ini dibawakan sebagai rasa syukur di setiap musim panen. Kini Gandrung harus dipentaskan di Festival Kesenian Banyuwangi tahunan.
Cerita Menyangkut Gandrung
Seperti dituturkan para tetua Banyuwangi di masa lalu, Banyuwangi muncul bersamaan dengan ditebangnya hutan Tirtagondo (Tirta arum) untuk membangun ibu kota Balambangan menggantikan Pangpang (Ulu Pangpang).
Kliring ini dilakukan atas inisiatif wali amanat saat itu, Mas Alit. Ia diangkat menjadi bupati pada tanggal 2 Februari 1774 di Ulupangpang.
Dari cerita yang dituturkan secara turun-temurun, gandrung awalnya dibawakan oleh laki-laki yang membawa alat musik pukul yang berbentuk seperti kendang dan beberapa rebana. Mereka memainkan instrumen ini di depan orang-orang kaya secara ekonomi.
Pemain menerima semacam hadiah dari populasi yang mereka mampu dalam bentuk beras atau tanaman lainnya.
Mereka berkeliaran setiap hari untuk mengunjungi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa orang Palambangan timur. Kokun, warga yang mengungsi, hanya ada sekitar lima ribu orang. Kompensasi disumbangkan kepada para pengungsi.
Kondisi rakyat akibat serbuan perusahaan dengan bantuan Mataram dan Madura pada tahun 1767 untuk merebut Palambangan dari kekuasaan Mangwe. Perang tersebut berlangsung hingga berakhirnya Perang Bayou yang sadis, seram, dan brutal pada 11 Oktober 1772.
Penjajah memenangkan perang
Dikatakan bahwa jumlah orang yang meninggal, melarikan diri, ditangkap, kehilangan hutan tanpa batas waktu atau diasingkan oleh perusahaan lebih dari 60.000 orang.
Sedangkan sekitar lima ribu orang tersisa terlantar dalam kondisi yang sangat menakutkan. Mereka tersebar di desa-desa, pedalaman, bahkan banyak yang mengungsi ke hutan. Mereka terdiri dari ayah, janda, dan anak-anak yang tidak lagi memiliki ayah.
Mereka ingin kembali ke kampung halaman untuk memulai hidup baru. Beberapa dari mereka ikut serta dalam penggundulan hutan Tirta Arum yang akan menjadi ibu kota. Kemudian mereka menetap di ibu kota baru yang dibangun atas prakarsa Mas Alit.
Ibu kotanya kemudian disebut Banyuwangi. Tujuan lahirnya kesenian ini adalah untuk menyelamatkan sisa-sisa orang yang dibantai oleh perusahaan. Mereka membangun kembali tanah Belambangan di timur yang telah dihancurkan oleh invasi Kompeni.
Pertama kali gandrung dipentaskan, para pria berpakaian seperti wanita. Alat musik utama yang mengiringi tari gandring adalah gendang.
Pada saat itu, biola digunakan. Kegilaan pria ini berangsur-angsur menghilang dari Banyuwangi sekitar tahun 1890-an.
Dia diduga menghilang karena ajaran Islam melarang pria mengenakan pakaian wanita. Bahkan, tari gandrung laki-laki sebenarnya menghilang pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, Marsan.
Kesenian Banyuwangi yang ber-gender tetap kuat dalam menghadapi gempuran globalisasi yang menyebar melalui media elektronik dan cetak. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga mulai mewajibkan setiap siswa dari SD hingga SMP untuk mengikuti kurikulum ekstrakurikuler kesenian Banyuwangi.
Sejak tahun 2000, para seniman dan budayawan Dewan Kesenian Plumbangan semakin bersemangat. Gandrung, dalam pandangan kelompok ini, merupakan seni yang mengandung nilai-nilai sejarah masyarakat pengguna yang senantiasa berada dalam tekanan struktural dan kultural.
Dengan kata lain, Gandrong merupakan bentuk perlawanan terhadap budaya daerah masyarakat pengguna.
Perkembangan selanjutnya, tari gandrung resmi menjadi maskot pariwisata Banyuwangi, disusul dengan pahatan gandrung yang dipajang di berbagai sudut kota dan desa.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga mulai menggalakkan gandrung untuk diselenggarakan di beberapa tempat seperti Surabaya, Jakarta, Hongkong dan banyak kota di Amerika Serikat.